Jumat, 31 Desember 2010

KEPASRAHAN MEREKA YANG BERIMAN SEMPURNA PADA TAKDIR

KEPASRAHAN MEREKA YANG

BERIMAN SEMPURNA PADA TAKDIR

 

 

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.  Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.”  (QS Al-Taubah, 9: 51)


 “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (kadar).“  (QS Al-Qamar, 54: 49)  Sebagaimana dikatakan ayat, Allah telah menciptakan semua makhluk, hidup atau mati, dengan takdirnya masing-masing.  Takdir yang ditetapkan Allah ini tidak dapat diubah; kebaikan atau keburukan apa pun yang telah ditetapkan sebelumnya tidak dapat dengan cara apa pun dicegah atau disimpangkan oleh siapa pun.  Mereka yang beriman sempurna adalah mereka yang sadar bahwa “tidak sesuatu pun dapat menimpa mereka kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atas mereka.”
Senyatanya, kenyataan ini merupakan sumber kedamaian yang tak berhingga.  Setiap peristiwa di bumi, apakah penting atau sepele, dan dalam segenap rinciannya, direncanakan oleh kecerdasan yang tak berhingga.  Karena itu, masing-masing peristiwa berkembang dalam cara yang terkendali, agar memberikan manfaat terbaik bagi para mukmin.
Menyadari bahwa Allah menciptakan setiap peristiwa demi keuntungan agama dan manfaat bagi kehidupan mukmin di hari kemudian, mereka yang beriman sempurna hidup dalam kepasrahan tulus kepada kebijaksanaan abadi Allah dan takdir yang telah ditetapkanNya.  Sebagaimana diperjelas ayat “…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman,”  (QS Al-Nisa, 4: 141), semua peristiwa akan berujung dalam cara yang, biar bagaimana pun, berpihak kepada mukmin.  “… Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya…”  (QS Al-Hajj, 22: 40) karena Allah sahabat dan pelindung kaum mukmin.
Mereka yang beriman sempurna yang mengangkat Allah sebagai Pelindung mereka dan menaruh kepercayaan kepadaNya tidak pernah berputus asa akan pertolongan Allah.  Khususnya dalam hal keadaan yang tampak tidak menguntungkan, tidak pernah mereka menyimpang dari kedudukan ini, menyadari ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi.
Dunia adalah pentas di mana Allah menempatkan manusia ke dalam cobaan.  Kebanyakan manusia menunjukkan kepasrahan kepada Allah dan merasa bersyukur kepadaNya ketika menerima sebentuk kebaikan atau nikmat, mengiranya dianugerahkan kepada mereka olehNya.  Namun, saat menyangkut peristiwa tak menyenangkan yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan, mereka tiba-tiba kehilangan sikap kepasrahan.  Mereka menunjukkan ketakpercayaan dan ketakbersyukuran yang kadang-kadang separah pemberontakan terhadap Allah.  Sikap ini dirujuk dalam Qur'an sebagai berikut:

… Apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami, dia bergembira ria karena rahmat itu.  Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar)..  (QS Al-Syura, 42: 48)
Akan tetapi, mereka yang beriman sempurna telah meresapi rahasia yang diungkapkan oleh ayat, “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).  Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”  (QS Al-Anbiya, 21: 35)  Tidak pernah melupakan bahwa setiap peristiwa yang tampak menyenangkan atau menyusahkan diciptakan khusus untuk menguji keimanan, mereka tidak pernah berkurang dalam kepasrahan yang mereka perlihatkan kepada kehendak Allah dan kepercayaan pada Pencipta mereka tidak pernah berkurang.  Mereka mengetahui apa pun peristiwa merugikan yang menimpa mereka mungkin, sebenarnya, menghasilkan akibat-akibat yang baik jika menimbang kehidupan selanjutnya, sebab Allah menciptakan setiap peristiwa dengan banyak maksud tersembunyi yang manusia tidak melihatnya.  Kenyataan ini terekam dalam satu ayat berikut:

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.  (QS Al-Baqarah, 2: 216)

Sebagaimana ditekankan dalam ayat di atas, suatu peristiwa yang awalnya dikira buruk mungkin berakibat baik bagi manusia karena Allah, Pemilik kebijaksanaan yang tak berhingga, telah merencanakan semua peristiwa yang menimpanya.  Kebijaksanaan dan kepiawaian berpikir manusia itu terbatas.  Karena hal ini, apa yang diharapkan dilakukan manusia adalah memasrahkan diri kepada takdir yang telah ditetapkan Allah dengan kebijaksanaan abadiNya.  Itulah apa yang akan memberi manusia manfaat dalam apa pun perkara.
Suatu peristiwa mungkin tampak berjalan tidak menyenangkan; namun, jangan pernah melupakan bahwa itu mungkin sebuah cobaan atas kepasrahan manusia kepada Allah.  Peristiwa ini mungkin akan berujung pada nikmat besar suatu waktu.  Mereka yang gagal menaruh kepercayaan kepada Allah awalnya melupakan kenyataan ini dan karena itu menderita kerugian besar.  Di sisi lain, mereka yang beriman sempurna dan menunjukkan sikap baik, meraih rida Allah dan akhirnya menikmati ganjaran-ganjaran menyenangkan karena itu.
Qur'an memberi kita dengan sejumlah cuplikan kehidupan para nabi, yang menjadi teladan bagi semua manusia dalam hal keimanan sempurna yang mereka perlihatkan.  Salah satunya mengenai keadaan yang tampak tanpa harapan dari Nabi Musa AS, yang memimpin kaumnya keluar dari Mesir untuk melarikan diri dari penindasan Firaun.  Ketika mereka tiba di pantai, Firaun dan tentaranya hampir menyusul mereka.  Keadaan sulit ini, yang tak diragukan mengilhami harapan keselamatan yang tersuram, menjadi cara memisahkan mereka yang melihat kebajikan dalam takdir di setiap keadaan dan mereka yang meragukannya.  Dalam Qur'an, Allah menceritakan peristiwa ini sebagai berikut:

Maka Firaun dan bala tentaranya menyusul mereka di waktu matahari terbit.  Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul."  Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul;  sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku."  Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu."  Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.  Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.  Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.  Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.  (QS Al-Syu’ara, 26: 60-67)

Sebagaimana diberitahukan ayat ini, sebagian kaum Nabi Musa AS cemas dan berpikir, “Kita pasti akan tersusul.”  Akan tetapi, Nabi Musa AS tidak sedikit pun berputus asa.  Ia ingat bahwa pertolongan Allah ada di tangannya.  Setelah cobaan ini, Allah secara ajaib membelah air laut, meninggalkan lintasan kering di tengahnya, dan membimbing mereka ke pantai seberang.  Sementara itu, air tiba-tiba mulai menutup Firaun dan bala tentaranya, yang tanpa berpikir ikut menempuh lintasan yang sama, dan mereka semua tenggelam.  Sekali kepasrahan mukmin menjadi jelas, Allah mengubah keadaan buruk menjadi sebuah nikmat yang agung.
Dalam Qur'an, Allah juga mengisahkan kepasrahan Nabi kita SAW pada kehendakNya sebagai teladan:

Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua.  Di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita,"  maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah.  Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.  Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (QS Al-Taubah, 9: 40)

Dalam saat-saat kesulitan, Nabi Muhammad SAW menaruh kepercayaannya kepada Allah dan menghimbau para pengikutnya agar pasrah kepadaNya.

Mereka yang beriman sempurna mengambil perilaku terpuji Nabi SAW sebagai teladan.  Tak pernah menyeleweng dari acuan kesempurnaan akhlak ini, mereka menghadapi setiap kesukaran yang mereka temui dengan kata-kata: …"Cukuplah Allah bagiku ."  KepadaNyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.  (QS Al-Zumar, 39: 38)

Kamis, 30 Desember 2010

LAKU IBADAH MEREKA YANG BERIMAN SEMPURNA

LAKU IBADAH MEREKA

YANG BERIMAN SEMPURNA



Orang yang beriman sempurna juga membedakan diri melalui perhatian seksama yang diberikan pada laku ibadahnya.  Sepanjang hidup – selama mampu – ia bergairah menegakkan shalat, berpuasa, membayar zakat, yakni, memenuhi laku ibadah yang ditetapkan Allah sebagai wajib.  Dalam banyak ayat, Allah memberitahu kita tentang kegirangan yang dirasakan Muslim yang taat selagi menjalankan laku ibadah mereka:

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).  (QS Al-Rad, 13: 22)

… (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka.  (QS Al-Hajj, 22: 35)

Pentingnya Shalat

Shalat (doa wajib yang dilakukan lima kali sehari), adalah salah satu laku ibadah terpenting setelah beriman.  Mukmin diwajibkan menegakkan shalat, yang merupakan laku ibadah yang ditetapkan pada waktu tertentu, seumur hidup.
Manusia itu gampang lalai.  Tenggelam dalam kesibukan sehari-hari, ia mungkin mudah tersesatkan dari pokok-pokok nyata pada apa sesungguhnya ia perlu memberikan perhatian.  Ia mungkin mudah melupakan bahwa Allah melingkupinya, bahwa Dia mengawasinya setiap saat, bahwa Dia mendengarnya, dan bahwa suatu hari ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya kepada Allah.  Ia mungkin juga melupakan tentang keniscayaan kematian, kuburan, Surga dan Neraka, bahwa tidak sesuatu pun terjadi selain atas kehendak Allah, dan bahwa sesungguhnya ada maksud di balik segala sesuatu.
Akan tetapi, menegakkan shalat lima kali sehari menghilangkan keadaan lalai ini dan menjaga niat dan nurani mukmin tetap hidup.  Shalat membuatnya terus berpaling kepada Allah dan hidup dengan perintah Tuhan kita.  Seorang manusia beriman sempurna yang berdiri di hadapan Allah untuk menegakkan shalat menjaga ikatan batin yang kuat dengan Allah.  Bahwa shalat itu mengingatkan manusia akan Allah dan menghindarkannya dari semua jenis kejahatan dikatakan dalam ayat berikut:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat.  Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.  Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain).  Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS Al-Ankabut, 29: 45)
Shalat adalah laku ibadah yang wajib bagi semua nabi dan mukmin.  Nabi-nabi yang sepanjang sejarah diutus kepada manusia menghimbau kaumnya akan laku ibadah wajib ini.  Sementara itu, mereka sendiri menegakkannya dalam cara yang secermat-cermatnya dan menjadi teladan yang harus diikuti semua mukmin.  Dalam hal ini, shalat adalah sebentuk pesan yang disampaikan oleh nabi-nabi Allah kepada masing-masing kaumnya.
Dalam Qur'an, ada beberapa ayat tentang perintah Allah kepada nabi-nabiNya tentang penegakan shalat, nilai penting yang dilekatkan pada laku ibadah ini, ketaatan seksama para nabi, dan perintah mereka kepada kaumnya tentang penegakan shalat:
- Dalam satu ayat, Allah menceritakan yang berikut tentang Nabi Ibrahim AS:

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat.  Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.  (QS Ibrahim, 14: 40)

- Dalam Qur'an, Nabi Ismail AS diceritakan seperti berikut:

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an.  Sesungguhnya, ia seorang yang benar janjinya, dan ia seorang rasul dan nabi.  Dan ia menyuruh kaumnya untuk bershalat dan berzakat, dan ia seorang yang diridai di sisi Tuhannya.  (QS Maryam, 19: 54-55)

- Dalam satu ayat lain, Allah mengatakan kepada Nabi Musa AS sebagai berikut:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.  (QS Tha-Ha, 20: 14)

Allah juga memerintahkan Maryam, yang dijadikan sebagai teladan dalam Qur'an bagi semua perempuan di dunia, agar menegakkan shalat:

"Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”  (QS Al-Imran, 3: 43)

Isa AS, yang dilukiskan sebagai “firman Allah” dalam Qur'an juga menerima perintah yang sama:

Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah.  Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.  Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”  (QS Maryam, 19: 30-31)

Apa sajakah Waktu Shalat?
Dalam Qur'an, shalat dilukiskan sebagai laku ibadah wajib yang diperintahkan bagi mukmin pada waktu-waktu tertentu.  Ayat yang terkait berbunyi:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.  Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).  Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.  (QS Al-Nisa, 3: 103)

Waktu kelima shalat wajib adalah subuh (“pagi”), zuhur (“siang”), ashar (“tengah siang”), magrib (“petang”), dan isya (“malam”).  Waktu-waktu shalat diterangkan dalam banyak ayat Qur'an.  Salah satunya berbunyi:

Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.  (QS Tha-Ha, 20: 13o)

Nabi kita SAW, yang paling dapat mengerti dan menafsirkan Qur'an, berkat wahyu dan ilham Allah, menjelaskan kepada mukmin awal dan akhir waktu dari kelima penegakan shalat selama satu hari.  Hadis berikut yang diriwayatkan Abdullah bin Amr bin Al-Asr merupakan salah satu hadis yang paling terkenal:

Nabi kita SAW mengatakan:
Waktu bagi shalat subuh (berlaku) adalah selama bagian kasatmata pertama matahari terbit tidak terlihat, dan waktu bagi shalat zuhur adalah ketika matahari tergelincir dari titik puncaknya dan belum masuk waktu shalat ashar, dan waktu bagi shalat ashar adalah selama matahari tidak meredup dan bagian kasatmata pertamanya belum tenggelam, dan waktu bagi shalat magrib adalah ketika matahari menghilang dan (berlaku) hingga rembang petang tidak lagi tampak, dan waktu bagi shalat isya adalah hingga tengah malam.  (Muslim)
Ayat Qur'an dan hadis Nabi kita SAW serta penjelasan cendekiawan-cendekiawan Islam membuat jelas bahwa shalat wajib harus ditegakkan lima kali sehari. 
Jumlah seluruh rakaat untuk kelima shalat wajib adalah 40.  Pembagian rakaat-rakaat ini menurut waktu shalatnya adalah sebagai berikut:
- Shalat subuh: 2 rakaat sunat, 2 rakaat fardlu
- Shalat zuhur: 4 rakaat sunat awal, 4 rakaat fardlu, 2 rakaat sunat akhir
- Shalat ashar: 4 rakaat sunat, 4 rakaat fardlu
- Shalat magrib: 3 rakaat fardlu, 2 rakaat sunat
- Shalat isya: 4 rakaat sunat awal, 4 rakaat fardlu, 2 rakaat sunat akhir, 3 rakaat witir.

Seorang Manusia Beriman Sempurna

Shalat dalam Ketakjuban

Ketakjuban adalah sejenis ketakutan yang bercampur penghormatan.  Di sisi lain, merasakan ketakjuban selagi shalat adalah merasakan keagungan dan kekuatan Allah di hadapanNya dan menyimpan ketakutan mendalam selagi menegakkan laku ibadah ini.  Seorang mukmin yang sadar bahwa ia berada di hadapanNya, Tuhan segenap dunia, akan pasti merasakan kekuatan ini dan mendekatkan diri kepada Allah terkait dengan ketakutan dan penghormatan yang dirasakan terhadapNya.
Seorang mukmin yang bermaksud menegakkan shalat dengan kehatian-hatian yang sepatutnya harus melakukan semua cara mengatasi penghalang-penghalang yang mungkin merintangi pemusatan pikirannya dan memberikan perhatian terbesar untuk memastikan perasaan dan pemusatan pikiran yang disyaratkan.  Di hadapanNya, Tuhan kita memerintahkan kita hanya mengingat dan memujaNya dan menjadi orang yang beriman murni dan alami kepadaNya.  Shalat dengan kehati-hatian merupakan kesempatan besar menyadari semua ini.  Sungguh, Allah memerintahkan kita menegakkan shalat untuk mengingatNya:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.  (QS Tha-ha, 20: 14)

Fardlu (kewajiban) shalat

A- Ada tujuh fardlu (kewajiban) yang harus dipenuhi mukmin sebelum mendirikan shalat.
Yakni:
- Kesucian beribadah (dari hadats besar dan kecil)
- Kesucian fisik (dari najis)
- Menutup aurat
- Menghadap kiblat
- Waktu yang Benar
- Niat
- Bertakbir
B- Lima fardlu (kewajiban) lainnya, disebut Rukun Shalat, harus dilakukan selama menegakkan shalat.
- Qiym
- Qirah
- Ruku’
- Sajdah
- Qadah
Kesucian Beribadah: Membersihkan diri dengan berwudhu atau mandi besar.
Kesucian Fisik: Membesarkan najis/kotoran yang melekat di badan, pakaian, atau tempat shalat yang mungkin akan menghalangi shalat.
Waktu: Melakukan shalat dalam waktu yang ditetapkan.
Menghadap Kiblat: Melakukan shalat dengan mengarah ke Mekkah.
Niat: adalah mengingat dan menyatakan dalam hati niat mukmin mendirikan shalat tertentu.
Bertakbir: Memuja Allah dengan kata-kata, “Allahu akbar”.
Qiym: Berdiri tegak (bagi yang mampu).
Qirah: Membaca beberapa ayat dari Qur'an selagi qiym (berdiri).
Ruku’: Membungkukkan tubuh, di mana lutut-lutut dicengkeram kedua telapak tangan sehingga menopang tubuh.
Sajdah: Menyembah/bersujud, dengan cara sedemikian sehingga hanya hidung, dahi, kedua telapak tangan, lutut, dan jari-jari kaki yang menyentuh tanah.
Qadah: Duduk dalam rakaat terakhir shalat selama membaca “Attahiyah”.
Selanjutnya, kita akan memperdalam wudhu, menutup aurat, dan Kiblat.

Apakah menutup aurat itu?

Setiap orang yang bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama perlu menutup auratnya yang mesti tertutup selama shalat dan tidak boleh terbuka kepada orang lain selama waktu-waktu lainnya.  Pakaian laki-laki harus setidaknya menutupi dari pusar hingga lutut.  Pakaian perempuan harus menutupi seluruh tubuhnya, dari kepala hingga kaki, mengecualikan hanya wajah dan telapak tangan.

Wudhu

Sebelum melakukan shalat, mukmin harus lebih dahulu berwudhu.  Ada syarat-syarat tertentu berwudhu.  Yakni:
- Membersihkan wajah satu kali
- Membersihkan tangan hingga pergelangan satu kali
- Mengusap seperempat kepala
- Membersihkan kedua kaki hingga mata kaki satu kali
Ada sunat-sunat wudhu.  Sunat-sunat wudhu yang harus dilakukan oleh mukmin yang beriman sempurna adalah sebagai berikut:
- Memulai dengan mengucapkan “Bismillah”
- Membersihkan tangan hingga pergelangan tiga kali
- Berkumur-kumur tiga kali
- Membersihkan lubang hidung dengan menghidu air tiga kali
- Membasahi kulit di bawah alis, janggut, dan kumis
- Membasahi bawah alis
- Membasahi ujung janggut
- Membersihkan gigi, menggosoknya dengan sesuatu jika mungkin
- Mengusap kedua sisi kepala satu kali
- Mengusap kedua telinga satu kali
- Mengusap belakang leher satu kali dengan tiga jari menyatu
- Membasahi sepenuhnya ruang-ruang di antara jari-jari tangan dan kaki
- Membasahi sepenuhnya semua bagian tubuh yang mesti dibersihkan
- Mengucapkan niat dalam hati ketika membersihkan wajah
- Membersihkan dan mengusap berurutan kedua tangan, mulut, hidung, wajah, lengan, kepala, telinga, belakang leher, dan kaki satu kali.
- Menggosok bagian-bagian tubuh yang dibersihkan
- Membersihkan semua bagian tubuh berurutan tanpa sela.

Kiblat

Dalam Qur'an, dikatakan Muslim harus menghadap Kabah di Mekkah selagi menegakkan  shalat.  Cukuplah bagi mereka yang tidak berada di Mekkah berdiri mengarah ke sana sehingga orang bisa mengatakan “ia berdiri dalam arah Kiblat.”
Agama Islam memperkenalkan Kabah sebagai pusat pemujaan Allah dan Muslim diperintahkan menghadap Kiblat di mana pun mereka berada di bumi, sehingga persaudaraan, kesatuan, dan ketertiban di antara mereka dapat dipertahankan. 
Shalat di arah Kiblat merupakan kesempatan untuk membangkitkan kenangan-kenangan pada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, para utusan mulia Allah yang membangun Kabah,  dalam benak kita dan menghadap kepada Allah untuk bermohon.  Juga, menghadap ke arah Kabah selagi makan dan tidur itu baik.  Tambahan lagi, jenazah-jenazah dikuburkan dengan wajah mereka dihadapkan ke Kiblat.

Bagaimana menentukan Kiblat?

Kiblat bukanlah bangunan Kabah, melainkan tanah tempatnya berdiri.  Dengan kata lain, ruang dari bumi ke langit adalah Kiblat.  Karena alasan ini, jika seseorang ada di bawah air atau di langit, ia masih dapat menegakkan shalat.
Mungkin saja menetapkan arah Kiblat melalui perhitungan matematis.  Hal itu juga bisa dicapai dengan sebuah kompas.  Bahkan jika penentuan Kiblat yang sangat cermat tidak dapat dilakukan dengan perhitungan dan peralatan, orang boleh memiliki keyakinan kuat tentang arah sebenarnya, dan keyakinan ini dapat diterima.
Di tempat-tempat di mana peralatan, kompas, bintang-bintang, dll.  tidak tersedia, mukmin harus meminta nasehat para Muslim yang tahu arah Kiblat. 
Dalam kendaraan yang bergerak seperti kapal atau kereta api, orang harus berdiri dalam arah Kiblat dan meletakkan kompas di dekat tempat bersujud.  Dengan cara ini, selagi kendaraan membelok, orang tersebut harus juga berputar ke arah Kiblat.  Pilihannya, seorang lain membantu memutarnya ke arah yang benar.
Jika seseorang menegakkan shalat tanpa mencari nasehat seorang Muslim yang mengetahui arah Kiblat, sendiri menentukan arah itu, atau telah memakai semua cara untuk menentukannya, ia tidak akan sepenuhnya melaksanakan rukun shalat, sekalipun secara tak sengaja shalat dalam arah yang benar.

 


Rabu, 29 Desember 2010

IMAN KEPADA ALLAH MEREKA YANG BERIMAN SEMPURNA

IMAN KEPADA ALLAH MEREKA

YANG BERIMAN SEMPURNA



Mereka takut kepada Allah

“… mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.”  (QS Al-Anbiya, 21: 28)

Mereka yang beriman sempurna yang meresapi keagungan, kekuatan dan kebijaksanaan abadi Allah, merasakan “takut penuh hormat” kepada Tuhan kita.  Dengan selalu mengingat ayat Qur'an, “Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…”  (QS Al-Taghabun, 64: 16), mereka tidak menetapkan batas bagi ketakutan mereka.
Setiap peristiwa yang mereka temui, semua yang mereka lihat di sekeliling, menarik mereka mendekat kepada Allah dan memperdalam keimanan dan juga ketakutan mereka. 
Ketakutan mendalam seperti itu memastikan derajat tertinggi perhatian diberikan kepada penaatan batasan-batasan yang ditetapkan Allah.  Tingkatan penaatan ini mewujud dalam perhatian seksama pada kepatuhan akan semua perintah dan anjuran Allah dan penghindaran ketat hal-hal yang dilarangNya.  Sikap orang yang beriman sempurna ini dirujuk dalam ayat berikut:

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”  (QS Al-Nahl, 16: 50)

Dalam Qur'an, Allah memberikan contoh yang akan membantu kita meraih pemahaman yang lebih baik akan hal-hal ini, dan menarik perhatian kita kepada macam ketakutan yang paling diridaiNya:

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qu'ran kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.  Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”  (QS Al-Hasyr, 59: 21)

Sebagaimana dikatakan ayat di atas, ketakutan orang yang beriman mendalam kepada Allah itu kuat dan dalam.  Ketakutan kepada Allah yang sangat kuat dirasakan mereka yang beriman sempurna sama sekali tidak menekan sebagaimana ketakutan palsu yang dialami mereka yang hidup tidak dengan nilai-nilai Qur'an.  Ketakutan itu jenis ketakutan yang didasarkan pada penghormatan akbar dan cinta mendalam yang menyebabkan mukmin bersetia kepada Allah, Pencipta dirinya.  Ini ketakutan yang memberi manusia semangat, kegembiraan, dan ketabahan.  Ini, lebih lagi, jenis ketakutan yang membuat manusia menghindari perbuatan apa pun yang tidak disukai Allah.  Ini ketakutan yang menghentak mukmin agar terlibat dalam perbuatan baik, mengilhaminya dengan akhlak mulia yang dianjurkan Islam dan karena itu, merupakan perasaan yang memberikan “kepuasan batiniah”.  Ketakutan ini dapat dirasakan hanya melalui cinta mendalam yang dimiliki orang kepada Allah.  Mereka yang beriman mencintai Allah sebanyak mereka takut kepadaNya.  Kedua sikap ini bersanding bersisian di hati mukmin dan menetap sebagai dua tanda penting iman yang sempurna.
Apa yang membuat mereka yang beriman sempurna takut kepada Tuhannya adalah penghargaan selayaknya mereka kepadaNya.  Allah itu al-Qahhar (Maha Penakluk, Dia Yang, dengan Kekuatannya, mengalahkan apa pun yang Dia ciptakan dengan Kekuasaan dan KekuatanNya), al-Mu'adhdhib (Penyiksa), al-Muntaqim (Pembalas), as-Sa’iq (Dia Yang mendorong ke neraka), al-Muthil (Dia Yang merendahkan atau memperhinakan siapa pun yang Dia kehendaki).  Mukmin, yang sadar akan sifat-sifat Allah ini, mengetahui bahwa Dia dapat menimpakan bentuk hukuman apa saja kepada siapa saja kapan pun Dia kehendaki.  Mereka sadar bahwa hanya mereka yang menjalankan kewajiban dapat diselamatkan dari hukuman ini.  Karena alasan ini, mereka takut tidak kepada siapapun kecuali Allah, Yang Maha Kuat.

Mereka mencintai Allah lebih daripada

siapa pun dan apa pun


“… mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.’”  (QS Al-Imran, 3: 173)

Cinta mereka yang beriman sempurna sekuat ketakutan yang mereka miliki kepadaNya.  Mereka mengetahui bahwa Allah Dialah Yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan dan mengaruniai mereka tak terhitung nikmat.  Mereka juga sadar bahwa Dia menyaksikan dan melindungi mereka setiap saat.  Mereka percaya bahwa semua makhluk hidup mewujud hanya atas izinNya, dan suatu hari semuanya akan musnah atas kehendakNya.  Mereka mengetahui bahwa Dia satu-satunya Wujud Yang ada untuk selamanya.
Setelah meresapi kenyataan  ini, mereka mengarahkan semua cinta kepada Allah, Pencipta dan Pemilik mereka sesuai dengan bimbingan Rasulullah SAW, “Cintailah Allah karena Dia memelihara dan merawatmu … “  (Tirmidzi).  Mereka mencintai Allah lebih daripada siapa pun atau apa pun yang mereka lihat, ketahui, atau mengerti.  Mereka sadar bahwa tidak ada sahabat atau penolong yang lebih baik daripada Allah, “… adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”  (QS Al-Anfal, 8: 40)  Dalam doa Nabi Ibrahim AS, seorang mukmin yang taat, kesadaran ini sangatlah gamblang:

(Yaitu Tuhan) Yang telah menciptakanku, maka Dialah yang menunjukiku.  Dan Tuhanku, Dia Yang memberi makan dan minum kepadaku.  Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.  Dan Yang akan mematikanku, kemudian akan menghidupkanku (kembali).  Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.  (Ibrahim berdoa): ‘Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmat dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh.’”  (QS Al-Syu`ara, 26: 78-83)

Sebagaimana dikatakan ayat, Nabi Ibrahim AS amat sadar bahwa Allah Yang memberinya nyawa, mengendalikan semua peristiwa di bumi, memberinya makan, menyebabkan sakit dan menciptakan cara-cara penyembuhan, dan bahwa Dia Penguasa tunggal bumi.  Jadi, beliau terikat kepadaNya dengan cinta.  Inilah jenis cinta yang dirasakan kepada Allah yang dijadikan teladan oleh mereka yang beriman sempurna.
Cinta yang dimiliki mereka yang beriman sempurna kepada makhluk ciptaan lainnya berkaitan erat dengan cinta yang mereka miliki kepada Allah.  Syarat untuk mencintai orang bergantung pada sejauh mana mereka memperlihatkan akhlak mulia yang menyenangkan Allah.  Mukmin memelihara cinta agung bagi mereka yang memperhatikan perintah dan larangan Allah dan berjuang keras untuk hidup menurut acuan akhlak mulia.  Alasan utama mengapa mereka mengasihi orang-orang ini adalah cinta mendalam yang mereka rasakan kepada Allah dan janji mereka mengangkatNya sebagai satu-satunya sahabat.
Keimanan sejati membuat mukmin secara murni meresapi semua keindahan, kebijaksanaan, dan kepiawaian di dunia ini milik Allah.  Misalnya, ketika menemui orang yang elok, bijaksana, dan berbakat, mukmin memperoleh kegembiraan besar dari semua sifat ini, teringat bahwa Allah Pencipta dan Pemberi semua sifat ini.  Karena alasan ini, kegembiraan yang mereka peroleh dalam sifat-sifat ini bukanlah kegembiraan yang terlepas dan jauh dari cinta yang mereka rasakan kepada Allah.  Sebaliknya, inilah sumber cinta dan penghormatan akbar kepada Allah.
Mereka yang tidak beriman mendalam tidak memiliki cinta agung kepada Allah.  Dalam kenyataannya, mereka ini mengetahui bahwa Allah Yang memberi mereka kehidupan, menjaga mereka setiap saat, menganugerahkan kepada mereka tak terhitung nikmat dan mengampuni mereka.  Akan tetapi, dalam bagian terbesar kehidupan, mereka melupakan kenyataan sederhana ini atau sekedar mengabaikannya.  Mengira makhluk-makhluk hidup yang Allah ciptakan memiliki kekuatan yang terlepas dariNya, mereka merasakan cinta terpisah kepada makhluk-makhluk ciptaan ini.  Dalam Qur'an, keadaan mereka ini dikatakan sebagai berikut:

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah.  Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…  (QS Al-Baqarah, 2: 165)

Dalam ayat lain, perbedaan antara mereka ini dan mereka yang beriman sempurna dijelaskan sebagai berikut:

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) ke cahaya (iman).  Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan (kekafiran).  Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.  (QS Al-Baqarah, 2: 257)

Mereka tidak mengangkat tuhan-tuhan
lain selain Allah. 

Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun denganKu.  (QS Al-Nur, 24: 55)

Keimanan mereka yang beriman sempurna adalah sebuah pedoman kuat yang berdasarkan pada kebijaksanaan dan nurani.  Dalam kata-kata Qur'an, “..  orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu..”  (QS Al-Hujurat, 49: 15)  Karena memiliki pemahaman penuh atas kekuatan dan keagungan Allah, mereka tegas sejak awal bahwa tiada tuhan yang menyamai atau menyerupaiNya.  Dalam Qur'an, satu-satunya panduan bagi mukmin, Allah mengatakan kenyataan ini sebagai berikut:

Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur.  KepunyaanNya apa yang ada di langit dan di bumi.  Siapakah yang patut memberi syafaat di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya.  Kursi Allah meliputi langit dan bumi.  Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.  (QS Al-Baqarah, 2: 255)

Di samping ini, sebagian orang, sekalipun mempercayai keberadaan Allah, juga menganggap beberapa makhluk hidup duniawi memiliki kekuatan yang terlepas dan terpisah dari Allah dan mengangkat mereka, dalam pengertian tertentu, sebagai “berhala”.  Karena itu, kita tidak boleh membatasi gagasan tentang “berhala” ke sebentuk pahatan batu atau kayu, atau tuhan-tuhan tiruan yang diolah oleh agama-agama palsu.  Sekarang ini, ada banyak benda yang kasatmata maupun tidak yang tidak disebut berhala, namun diperlakukan sedemikian.
Upaya apa pun dari seseorang untuk menyenangkan makhluk selain Allah – menganggap makhluk itu mampu membantunya dan mengubah arah hidupnya menuruti keinginan makhluk itu – dapat digambarkan sebagai memperlakukan makhluk itu seperti “sebuah berhala”.  Sebagian orang, misalnya, bermaksud memperoleh uang, kecantikan, kehormatan, karir atau melampiaskan hawa nafsunya.  Orang-orang semacam itu mengabaikan bekerja ke arah meraih rida Allah, yang seharusnya sebaiknya menjadi tujuan utama mereka.  Merekalah orang-orang yang mengangkat tuhan-tuhan selain Allah. 
Inilah perkara pada mana sifat pembeda orang-orang yang beriman sempurna menjadi paling nampak.  Hal itu karena, tidak seperti orang-orang yang tersebut di atas, orang-orang yang beriman sempurna menegaskan dengan hati dan sepenuh kehidupan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah.  Mereka berpaling kepadanya dan tidak mengangkat sekutu bagiNya, jadi, “memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama.”  (QS Al-Zumar, 39: 11)  Allah menggambarkan hamba-hambaNya yang tulus sebagai:

Orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah.  Maka, mereka itu bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.  (QS A-Nisa, 4: 146)