Sabtu, 13 November 2010

BID’AH

BID’AH
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu oleh habib munzir al muzawa
BID’AH
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat :
“ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini
Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,
Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi
memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam,
Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah,
karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll,
berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.
Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw :
“Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal
yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan
agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah
saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman
syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk
sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan
Tabi’in.
Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah
wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang
mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah
Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :
“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas
ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an,
lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis
Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh
Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan
dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd)
adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau
telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah
Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung
daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga
iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih
Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui
dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah)
yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan
menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit
onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang
memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah
mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas

melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah
yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata :
“Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri
wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa
kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang
Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat
banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat
dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal
hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak
Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan
sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang
baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah
anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui
bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan
oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa
Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin
melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya
memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula
dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata :
“Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan
Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan
nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di
Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah
Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa
Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).
Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna
Bid’ah?
Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk
pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti
penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin,
nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar
syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh
Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan
muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin,
bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana
sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas

hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul
saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan
dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran
pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada
perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing,
melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat
Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah
Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan
menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.
Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat
memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun
Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa
mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul
saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena
kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan
tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul
pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-
Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena
dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk
mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-
Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak
dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan
sejarah Islam ?
Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra
yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di
zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya,
yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan
hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih
mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita
masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi,
jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah
mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah),
mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa
keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan
Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an,
sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan
Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra
mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra)
meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih
menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra,
hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang
dijernihkan Allah swt,
Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka
barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan
mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan
Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah
perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya
berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi
Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah
(Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan
bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan
yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar
bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam
Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi
berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan
adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri
muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak
sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu
‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini

merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir
Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy
rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang
dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang
baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua
yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk
dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah
yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan
yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu
syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah
bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas
diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum,
sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”.
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy
rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang
umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan
segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau
pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam
dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada
kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna
keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku
dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun
setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman
para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?,
berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia
tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak
punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa
memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Walillahittaufiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar